Bahas Pengawasan, Kerangka Hukum hingga Konflik Hutan
Oleh Redaksi
BERITAMONALISA.COM | JAKARTA | – Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengadakan Rapat Kerja dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar sebagai wujud perhatian yang serius dari Komite I terhadap kelestarian dan pemanfaatan hutan dalam program Reforma Agraria serta penyelesaian konflik/permasalahan kehutanan, Selasa, 6 Oktober 2020.
Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Komite I DPD RI H Fachrul Razi MIP secara daring. Dalam rapat tersebut Komite I DPD RI berkomitmen terkait pengawasan hutan, dalam hal ini Praktek pengelolaan serta mencegah konflik. Komite I melihat bahwa konflik ini disebabkan oleh ketidakjelasan kerangka hukum yang mendasarinya, antara UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
” Undang-Undang Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang nomor 24 tahun 1992. Dalam UU 26/2007 penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Dengan tujuan tersebut, penataan ruang pada akhirnya diharapkan menjadi sebuah titik temu yang harmonis antara penggunaan sumber daya alam dan dan pemanfaatan ruang sekaligus mencegah terjadinya dampak negatif akibat pemanfaatan ruang. ” Ujar Senator Fachrul Razi.
Selain hal tersebut Senator Fachrul Razi mengungkapkan, Sekitar 70% daratan di Indonesia adalah kawasan hutan. Kondisi pada saat ini, hutan di Indonesia mengalami percepatan deforestasi dan degradasi kawasan hutan, yang disebabkan oleh terjadinya kebakaran hutan, penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, pertambangan, kawasan pemukiman, pembangunan pusat kota/perkantoran, dijadikan kawasan industri, dan pembangunan infrakstruktur (jalan, lapangan udara, pelabuhan kapal, dan lain-lain).
Kondisi ini diperparah dengan adanya konflik kebijakan penataan ruang, serta masih lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan hutan.
”Selain persoalan di atas, konflik pengelolaan hutan masih sering terjadi akibat adanya tumpang tindih kepemilikan dan penguasaan hutan“. imbuhnya.
Pemerintah pusat dan daerah diamanatkan untuk menyebarluaskan informasi rencana umum dan rincian tataruang, pengaturan zonasi dan petunjuk pelaksanaan penataan ruang. Penataan ruang diselenggarakan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat, dimana pelibatan tersebut mencakup perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian.
Praktek pengelolaan hutan yang kurang efektif terjadi juga karena lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat daerah. Sebagai contoh, Unit Pelaksana Teknis (UPT) pemerintah yang bertugas untuk mengawasi kawasan konservasi memiliki keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Pemerintah daerah yang bertugas untuk mengelola Hutan Lindung tidak bisa melaksanakan peranannya dengan baik.
Persoalan lain dibidang pengelolaan hutan adalah hubungan kelembagaan pusat-daerah. Ketidakjelasan pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam mengelola hutan pada gilirannya melemahkan sistem pengamanan asset sumber daya hutan yang ada.
Dalam kenyataannya hutan dikuasai para pemegang izin. Apabila izin berakhir atau tidak berjalan, hutan tersebut dalam kondisi terbuka (open access) yang memudahkan siapapun memanfaatkannya tanpa kontrol dan meyebabkan terjadi kerusakan yang lebih besar.
Di sisi lain, berdasarkan data BPS menunjukkan adanya kurang lebih 19.400-an Desa di dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia. Desa-desa tersebut umumnya dihuni oleh masyarakat tradisional. Keberadaan masyarakat tradisional dengan kearifan adatnya yang ada dalam kawasan hutan tersebut belum diberi kesempatan untuk mengelola hutan secara berkelanjutan. (*)
No Result
View All Result
Discussion about this post