BERITAMONALISA.COM | – Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun (PPABS) kembali dibuat resah oleh tindakan sejumlah individu yang mengklaim memiliki tanah adat di Kabupaten Simalungun. Kali ini, Hermanto Sipayung SH, Ketua Bidang Hukum dan Litbang DPP PPABS, merasa terganggu oleh klaim dari oknum bermarga Sialagan yang mengaku memiliki tanah adat di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Keterangan Pers
“Darimana asalnya ada tanah adat di Simalungun? Tanah adat tidak ada di Simalungun. Kalaupun ada, itu adalah tanah raja. Dahulu, Dolok Parmonangan merupakan wilayah Kerajaan Tanah Jawa,” tegas Hermanto Sipayung, Selasa (28/05/2024).
Hermanto menjelaskan bahwa ia baru-baru ini bertemu dengan Arwansyah Sinaga, keturunan ke-18 Raja Tanah Jawa, Tuan Djintar Sinaga. Arwansyah menyatakan dengan tegas bahwa Dolok Parmonangan, yang dahulu bernama “Parmanangan”, adalah bagian dari wilayah Kerajaan Tanah Jawa.
Sebagai bukti, Hermanto menyebut adanya perjanjian antara Kerajaan Tanah Jawa dengan Belanda pada tahun 1912, yang tertuang dalam “Acte van Concessie”. Dalam perjanjian tersebut, Raja Tanah Jawa memberikan izin pengelolaan lahan kepada Belanda di Dolok Parmonangan. “Ini membuktikan bahwa Belanda mengakui Raja Tanah Jawa sebagai pemilik lahan tersebut,” tandas Hermanto.
Lebih lanjut, Hermanto menjelaskan bahwa wilayah kerajaan-kerajaan Simalungun yang dikenal dengan “Raja Marpitu” tidak mengenal konsep tanah adat atau ulayat. Tanah di wilayah kerajaan-kerajaan Simalungun adalah milik raja. Raja-raja tersebut antara lain adalah Raja Silou bermarga Purba Tambak, Raja Panei bermarga Purba Dasuha, Raja Purba bermarga Purba Pakpak, Raja Silimakuta bermarga Girsang, Raja Raya bermarga Saragih Garingging, Raja Siantar bermarga Damanik, dan Raja Tanah Jawa bermarga Sinaga.
Menyikapi situasi ini, DPP PPABS telah menyurati Presiden RI, Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH), serta lembaga terkait lainnya. Mereka berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan masalah yang meresahkan masyarakat etnis Simalungun ini.
Dalam suratnya, DPP PPABS meminta Komnas HAM untuk mengacu pada kepemilikan tanah, adat, dan sejarah Simalungun ketika membahas masalah tanah di Dolok Parmonangan. “Kami juga meminta Komnas HAM menjaga independensinya dengan mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, termasuk pemangku adat dan budaya Simalungun, serta ahli waris raja-raja Simalungun,” tambah Hermanto yang juga seorang advokat berpengalaman.
DPP PPABS juga menekankan bahwa hingga saat ini belum ada peraturan daerah (Perda) di Kabupaten Simalungun tentang pengakuan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 67 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, serta Pasal 34 ayat 1 PP Nomor 33 tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, belum terpenuhi.
Hermanto menjelaskan, jika memang ada tanah adat di Kabupaten Simalungun, penetapannya harus melalui ahli waris raja-raja Simalungun atau marga-marga Simalungun. “Karena yang berhak menyatakan atau memiliki tanah adat di wilayah Simalungun adalah ahli waris raja,” ujarnya.
Untuk menegaskan kriteria kepemilikan tanah adat, PPABS menetapkan beberapa kriteria: adanya subjek (masyarakat, aksara, bahasa, marga, tatanan kehidupan, tutur, dll.), adanya objek (tanah seperti parjalangan, tapian, tanah partuanon, galunggung, dll.), hubungan antara subjek dan objek, teritorial, garis keturunan, suku asli, serta peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat dan tanah adat yang ditetapkan oleh pemerintah. Tanah adat juga harus dipergunakan secara bersama-sama untuk kepentingan masyarakat adat, bukan untuk kepentingan pribadi.
“Kami tegaskan lagi, tidak ada tanah adat di Simalungun. Mari kita jaga Habonaron do Bona,” pungkasnya.(*)
Discussion about this post