Oleh Redaksi
BERITAMONALISA.COM | PEMATANGSIANTAR | – Kota Pematangsiantar, satu dari sekian banyak daerah yang mengikuti Pilkada Serentak 9 Desember 2020 mendatang, konstelasi politik cukup tinggi dan panas. Walau siantar termasuk salah satu kota di Sumatera Utara yang berhawa sejuk dan nyaman sebagai tempat hunian di masa masa pensiun. Sejak digelarnya pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan calon tunggal diperbolehkan dalam kontestasi pilkada. Seperti pilkada serentak 2015 yang digelar di 269 daerah, ada tiga daerah yang memiliki satu pasangan calon. Jumlah itu kemudian meningkat pada pilkada serentak 2017, dari 101 daerah yang melakukan pemilihan, jumlah pasangan calon yang melawan kotak kosong menjadi sembilan pasangan.
Pada pilkada serentak 2018 lalu, jumlah calon tunggal meningkat menjadi 12 daerah. Daerah yang paling banyak calon tunggalnya seperti Banten, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang, juga Provinsi Papua dengan dua daerah, yaitu Kabupaten Puncak dan Kabupaten Jayawijaya.
Sudah diduga, tak satu pun dari 12 calon tunggal merupakan calon baru, semuanya petahana, baik dengan pasangannya yang lama maupun dengan yang baru.
Payung hukum calon tunggal diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Misalnya, pasangan calon tunggal diperbolehkan apabila KPU telah melakukan perpanjangan pendaftaran tapi tetap saja tidak ada calon lain yang mendaftar.
Selanjutnya dalam Pasal 54 C ayat (1) UU No 10 Tahun 2016 dinyatakan bahwa calon tunggal juga diperbolehkan apabila terdapat lebih dari satu calon yang mendaftar tapi dinyatakan tidak memenuhi syarat dan mengakibatkan adanya calon tunggal.
Mekanisme penentuan kemenangan untuk calon tunggal pun sudah diatur dalam UU No 10/2016, yakni calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50% dari suara sah. Namun, apabila kurang dari 50% dari suara yang sah, yang menang ialah kolom kosong. Undang-undang mengatakan calon yang kalah bisa maju dalam pemilihan berikutnya yang bisa digelar satu tahun kemudian.
Fenomena calon tunggal bakalan terjadi pada Pilkada Walikota Pematangsiantar, pasalnya Walikota Pematangsiantar Hefriansyah Noor sebagai petahana, belum mendapat rekom dari calon partai pengusung.
Sementara pekan ini, KPUD sebagai penyelenggara mulai membuka pendaftaran mulai tanggal 4 – 6 September 2020. Apakah Hefriansyah sebagai petahana menyerah, dan begitu mudahnya estafet kepemimpinan miliknya diserahkan kepada sosok pendatang yang mengaku putra daerah tanpa ada pertarungan politik.
Waktu sepakan akan menjawabnya. Apakah Hefriansyah sosok petarung politik, dan mungkinkah untuk kedua kalinya mukzijat kembali turun kepangkuannya seperti saat dirinya mendapat anugrah sebagai Walikota Pematangsiantar pada priode lalu.
Seperti kita ketahui bersama, keberadaan calon tunggal sebagai akibat adanya dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu Calon dan partai politik. Calon berkepentingan untuk bisa berkuasa tanpa ada lawan politik dengan cara menjegal saingan lewat ‘borong partai’.
Sementara, partai-partai berkepentingan untuk menang dan/atau mendompleng. Kedua, partai gagal melakukan kaderisasi di satu pihak, dan di lain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di Kota Pematangsiantar. Alhasil partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya. Partai politik mestinya malu dengan pilkada yang hanya menampilkan calon tunggal.
Seantero Nusantara mengenal siantar, atau dengan julukan “Siantar Man”, sebagai barometer politik di Indonesia terkhusus di Sumatera Utara, Hari ini Siantar kehilangan sosok pemimpin karena kepentingan elit politik. Yang uniknya Siantar memiliki tiga tokoh muda, cemerlang dalam karir politiknya dan menjadi unsur pimpinan di DPRD Kota Pematangsiantar seperti Timbul, Mangatas dan Ronald apakah mereka bertiga tidak punya nyali mencalon sebagai Walikota Pematangsiantar dan malah mencalonkan sosok calon putra perantau sebagai calon tunggal pada Pilkada serentak Kota Pematangsiantar.
Akan tetapi, mungkin rasa malu itu dengan mudah bisa disingkirkan karena ada kepentingan pragmatis tadi.
Alhasil bagi yang ingin maju menjadi calon kepala daerah, mereka harus mengeluarkan biaya besar. Dengan kata lain, pilkada hanya disediakan bagi mereka yang punya dukungan dana besar.
Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai calon pemimpin kepala daerah tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi tersebut.
Seperti Hefriansyah mungkin, sebagai petahana langsung dijegal oleh partai politik yang memiliki kepentingan ganda.
Dalam konteks pilkada calon tunggal agar tetap kompetitif, semesetinya ‘hak-hak’ politik kolom kosong juga memiliki hak yang sama atau kesempatan yang sama dengan calon definitif, seperti dalam hal kampanye.
Pasal 65 UU No 10/2016 mengatur tentang bentuk-bentuk kampanye, seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik atau debat terbuka, pemasangan alat peraga, dan iklan di media massa dan elektronik.
Sehubungan dengan itu, agar pilkada berjalan fair, beberapa pertanyaan pasti bakal muncul, apakah disediakan waktu dan tempat kampanye bagi pendukung kolom kosong tersebut?…..
Apakah disediakan lawan debat bagi calon tunggal dari kelompok kotak kosong?……atau, apakah yang mengampanyekan untuk memilih kolom kosong akan dianggap antidemokrasi yang menggembosi pilkada?…..
Beberapa pertanyaan logis itu akan muncul ke permukaan, mengingat geliat demokrasi yang tumbuh di kalangan kaum menengah terdidik.
Karena dalam benak penulis, mengambil keputusan untuk memilih kolom kosong merupakan hak demokrasi yang berbeda dengan golput (yang tidak memilih sama sekali) sehingga harus ada sekelompok orang yang menggerakkan (berkampanye) untuk memilih kolom kosong tersebut.
Terlepas dari itu, kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, yang memiliki jumlah partai relatif banyak, keberadaan calon tunggal pada pemilihan kepala daerah tentu menjadi hal yang ironis apa lagi Kota pematangsiantar gudangnya politisi politisi handal.
Apa bila,kotak kosong terwujud. Tidak ada calon lain yang akan mendaftar, walau waktu hanya tinggal sepekan yang pastinya demokrasi akan terasa hambar tanpa ada pertarungan politik. sebab hampir bisa dipastikan calon tunggal bakal keluar sebagai pemenang, tanpa ‘jerih-payah’ dan tidak harus ‘mengeluarkan keringat’ untuk melakukan kampanye mati-matian.(*)
Discussion about this post