Oleh Redaksi
Pematangsiantar, 25 Maret 2025
Di bawah langit kelam Kota Pematangsiantar, tiang-tiang besi menjulang seperti nisan-nisan raksasa mengancam ketenangan warga. Bukan hantu atau makhluk gaib yang mereka takuti, melainkan deretan tiang Wi-Fi ilegal yang tiba-tiba bermunculan di depan rumah-rumah warga. Proyek yang didalangi PT. Hasian Prima Telindo ini dituding sebagai biang kerusakan tata kota, pelanggaran hukum, dan bom waktu yang siap meledakkan kerugian miliaran rupiah bagi negara.

Sejak pekan lalu, warga di Kecamatan Siantar Marihat dan Siantar Selatan ,Siantar Sitalasari,dan Siantar Marimbun dibuat terhenyak. Tiang-tiang setinggi 3 meter itu muncul bak cendawan di tengah malam, dipasang tanpa pemberitahuan, izin, atau bahkan secuil rasa hormat pada pemilik rumah yang terpaksa memandangnya setiap hari. “Seperti ditusuk dari belakang. Kami tidak pernah diundang rapat, tidak pernah dimintai persetujuan. Tiba-tiba, besi-besi ini sudah berdiri di depan mata kami,” ujar Siti, seorang ibu rumah tangga yang matanya merah oleh air mata kemarahan.

Lokasi beberapa Titik pemasangan Mulai dari
Jl. Prov Di.panjaitan
-sisi kanan kiri ruas pemko(seperti jl. durian, Jl. Toba dan Jl. Gerejadll) dan juga melanton Siregar
-sisi kanan kiri pemko(siatas barita, patimura) dan jln nagahuta, Ruas balai nya yg kena sm Raja (dari simp nagahuta – simp 2)
Keresahan itu bukan hanya soal pemandangan yang rusak. Warga khawatir tiang-tiang itu menjadi ancaman terselubung: dari risiko roboh saat angin kencang, hingga ketakutan akan praktik bisnis gelap yang menggerogoti uang rakyat. “Ini bukan teknologi, ini teror!” seru seorang pemuda yang memilih menyembunyikan identitasnya.
Di balik layar, sebuah dokumen resmi bergulir seperti pisau tajam. Forum Studi Analisa Kebijakan Publik (FSAKP) mengirimkan “Somasi mendesak” kepada Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Sumatera Utara. Dokumen itu mengungkap fakta mencengangkan: PT. Hasian Prima Telindo diduga menggarap proyek jaringan utilitas tanpa izin*, melangkahi UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih, UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, hingga Permen PUPR No. 20/2010 yang mengatur tata cara penggunaan jalan.
“Proyek ini adalah penghinaan terhadap hukum,” tegas perwakilan FSAKP dalam dokumen tersebut. Mereka menuding perusahaan itu telah **mengemplang retribusi negara**, merampas hak masyarakat, dan mengubah jalan nasional menjadi “medan perang” bisnis tanpa aturan.

Dugaan makin menyeramkan ketika FSAKP menemukan fakta bahwa tiang-tiang tersebut tidak memenuhi SNI 03-2850-1992 tentang penempatan utilitas di jalan. Artinya, instalasi ini bukan hanya ilegal, tetapi juga berpotensi merusak struktur jalan dan membahayakan pengendara. “Jika ada kecelakaan akibat tiang ini, siapa yang bertanggung jawab? Perusahaan sudah kabur, pemerintah diam saja,” geram Maria, warga Siantar Selatan.
Tekanan Publik kini mengarah kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara serta Dinas PUTR Pemko Pematangsiantar dan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Sumatera Utara. Masyarakat menuntut jawaban: “Mengapa proyek ini bisa berjalan?Apakah ada oknum pejabat yang menerima “amplop” untuk tutup mata? FSAKP secara terang-terangan menyebut ada indikasi kolusi dan korupsi sistematis. “Ini bukan kesalahan teknis. Ini kejahatan terstruktur,” tegas pihak FSAKP.

Di tengah kebisuan pemerintah, warga mulai bergerak sendiri. Beberapa kelompok pemuda telah memasang spanduk bertuliskan “Bongkar Tiang Ilegal!” di sepanjang jalan. Aksi protes kecil-kecilan juga mulai bermunculan, diikuti ancaman gugatan kelas atas nama masyarakat. “Kami tidak akan diam. Ini perang melawan keserakahan,” seru seorang warga.
Jika tiang-tiang ini tidak segera dibongkar, Pematangsiantar mungkin hanya menjadi awal dari bencana serupa di kota lain. FSAKP memprediksi, pola serupa bisa terjadi di seluruh Indonesia jika pelaku tidak dihukum berat. “Ini ujian bagi negara. Jika pemerintah kalah melawan mafia proyek, maka kepercayaan publik akan hancur berkeping-keping,” tegas analis kebijakan.
Sementara itu, tiang-tiang besi itu masih berdiri angkuh, seperti menantang: **Siapa yang berani menjatuhkan kami?.(*)
Discussion about this post