Oleh Nico
Pematangsiantar, 22 Juni 2025 – Kebijakan Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar yang mewajibkan guru dan Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap masuk kerja selama masa libur akhir semester genap tahun ajaran 2024/2025 menuai protes keras dari kalangan pendidik. Dalam surat edaran bernomor 006/400.3.5/1733/VI-2025 tertanggal 21 Juni 2025, dinas menetapkan bahwa meski siswa libur mulai 23 Juni hingga 12 Juli 2025, seluruh guru dan staf sekolah diwajibkan masuk seperti biasa dan melakukan absensi melalui aplikasi Presensi Siantarman. Kebijakan ini dinilai tidak hanya tidak adil, tetapi juga melanggar sejumlah undang-undang yang melindungi hak guru.
Kebijakan yang Dianggap Diskriminatif
Para guru menilai kebijakan ini sebagai bentuk diskriminasi sistemik terhadap profesi pendidik. “Jika siswa libur, seharusnya guru juga berhak libur. Tidak logis memaksa guru datang ke sekolah hanya untuk absen, sementara tidak ada aktivitas pembelajaran,” ujar salah seorang guru SD Negeri di Pematangsiantar yang enggan disebutkan namanya. Ia menambahkan, kewajiban *fingerprint* selama libur sekolah adalah pemborosan waktu dan energi, terutama karena banyak tugas administratif sebenarnya bisa diselesaikan di rumah.
Penolakan juga mengemuka karena kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (diperbarui UU No. 5 Tahun 2014). Pasal 35 UU tersebut menegaskan bahwa beban kerja guru maksimal 40 jam per minggu, dengan minimal 24 jam tatap muka. “Jika tidak ada siswa, bagaimana guru memenuhi kewajiban mengajar? Artinya, seharusnya guru juga berhak libur,” tegas seorang guru SMP .
Beban Administratif dan Ketidakjelasan Urgensi
Selain persoalan hukum, kebijakan ini dinilai mengabaikan beban administratif guru yang sudah terlampau berat. Faktanya, banyak guru telah menghabiskan waktu di luar jam kerja untuk menyelesaikan dokumen kurikulum, penilaian, hingga laporan keuangan sekolah. “Sudah biasa kami kerja sampai malam atau akhir pekan untuk urusan administrasi. Masa libur siswa seharusnya jadi kesempatan kami rehat, bukan malah dipaksa datang ke sekolah hanya untuk *fingerprint*,” protes seorang guru.
Pertanyaan kritis juga dilontarkan terkait urgensi kebijakan ini. Jika tujuannya adalah menyiapkan program tahun ajaran baru atau Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), mengapa tidak diberi fleksibilitas? “Semua tugas itu bisa dikerjakan *online* atau dengan sistem laporan, tidak perlu memaksa guru datang ke sekolah,” tambahnya.
Pelanggaran Hak Cuti dan Dukungan UU ASN
Kekecewaan semakin memuncak karena kebijakan ini mengabaikan hak cuti guru yang dijamin Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2020 tentang ASN (Pasal 315). Aturan tersebut menyatakan bahwa hak cuti dan libur ASN, termasuk guru, harus sesuai perundang-undangan. “Libur sekolah seharusnya diakui sebagai hak guru, bukan dianggap sebagai hari kerja biasa,” kata perwakilan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) setempat.
Bahkan, dalam UU No. 14 Tahun 2005, disebutkan bahwa guru berhak mendapat cuti tahunan dan libur sesuai kalender pendidikan. Namun, di Pematangsiantar, guru justru harus mengajukan permohonan cuti terlebih dahulu jika ingin mengambil hak mereka. “Ini seperti menghukum guru yang sudah lelah bekerja sepanjang semester,” sindir seorang guru .
Tuntutan Guru dan Rekomendasi Solusi
Merespons kebijakan ini, para guru mendesak Dinas Pendidikan Pematangsiantar untuk:
1. Mencabut kewajiban absensi fingerprint
selama masa libur sekolah.
2. Memberikan fleksibilitas kerja (*work from home*) untuk tugas administratif.
3. Menghormati hak cuti guru tanpa syarat birokrasi berlebihan.
4. Melibatkan perwakilan guru dalam penyusunan kebijakan serupa di masa depan.
Sejumlah solusi juga diajukan, seperti sistem Libur bergilir atau penggantian presensi fisik dengan laporan tugas harian secara online. “Kami tidak melarang dinas mengatur produktivitas, tetapi tolong pertimbangkan aspek kemanusiaan. Guru bukan robot.
Tanggapan Dinas Pendidikan dan Dukungan Publik
Hingga berita ini diturunkan, Dinas Pendidikan Pematangsiantar belum memberikan klarifikasi resmi. Namun, surat edaran tersebut telah menyebar luas di kalangan Guru dan memicu dukungan publik.
Ancaman terhadap Kualitas Pendidikan
Kebijakan yang tidak pro-guru ini dinilai akan berdampak panjang pada kualitas pendidikan di Pematangsiantar. Guru yang kelelahan dan merasa tidak dihargai berisiko mengalami *burnout*, yang ujungnya merugikan siswa. “Pemerintah harus paham: kebijakan diskriminatif seperti ini hanya akan membuat guru stres dan tidak produktif. Pada akhirnya, yang rugi adalah anak-anak kita,” pungkas seorang dosen kota pematangsiantar
Discussion about this post