Oleh Redaksi
Tapanuli Tengah — Tokoh pemuda Tapanuli Tengah, Waiys Al Kahrony Pulungan, melontarkan kritik tajam terhadap Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah (Pemkab Tapteng) yang kembali absen dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD terkait aduan masyarakat tentang keberadaan portal PT CPA di Kelurahan Hutabalang.
Menurut Waiys, ketidakhadiran OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam lima kali RDP berturut-turut bukan sekadar bentuk kelalaian, melainkan penghinaan terhadap rakyat dan demokrasi.
“Apa gunanya jargon ‘Tapteng Naik Kelas’ jika mental pejabatnya justru turun kelas? RDP itu bukan undangan kondangan, tapi mandat konstitusi! Ketidakhadiran eksekutif adalah bentuk penghinaan terhadap DPRD dan rakyat,” tegas Waiys, Kamis (12/6/2025).
Ia menilai bahwa pembangkangan ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan kepala daerah dalam mengatur kedisiplinan birokrasi. OPD, kata dia, tidak mungkin berani mangkir tanpa sepengetahuan atau arahan dari pimpinan.
“Kalau lima kali panggilan diabaikan, ini bukan masalah teknis lagi. Ini kerusakan sistemik. Jangan salahkan rakyat jika mulai bertanya: siapa sebenarnya yang anti-rakyat?”
Lebih lanjut, Waiys mengingatkan pentingnya peran DPRD dalam sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan—dan RDP adalah sarana sah untuk menjalankan fungsi itu.
“Ketidakhadiran eksekutif melemahkan fungsi pengawasan DPRD. Jika ini terus terjadi, maka check and balance lumpuh, pemerintahan menjadi otoriter, tertutup, dan anti-kritik.”
Waiys juga menyayangkan munculnya narasi-narasi yang menyesatkan di media sosial, yang justru menyerang personal anggota DPRD alih-alih membahas substansi persoalan masyarakat.
“DPRD sedang bekerja untuk rakyat. Kalau tidak setuju, sampaikan secara konstitusional, bukan dengan nyinyiran picisan di Facebook. Membelokkan isu utama dengan menyerang DPRD adalah taktik lama yang sudah basi.”
Salah satu unggahan yang menyebut DPRD sebagai “budak politik” dinilai Waiys sebagai upaya membelokkan perhatian publik dari persoalan utama: absennya tanggung jawab eksekutif.
“Alih-alih menjelaskan mengapa mangkir, malah memprovokasi rakyat untuk membenci DPRD. Ini strategi yang melelahkan dan tidak lagi efektif bagi masyarakat yang sudah cerdas.”
Ia menutup dengan seruan moral kepada pejabat Pemkab Tapteng. Menurutnya, jika seorang pejabat tidak sanggup mendengar aspirasi rakyat secara terbuka di forum resmi, maka sebaiknya mundur dari jabatan.
“Jangan bangga dengan slogan ‘Naik Kelas’ kalau mental masih kelas bawah. Pemerintah yang alergi pengawasan, bukan sedang naik kelas, tapi justru tergelincir ke jurang ketidakpercayaan.”
Waiys mengajak semua pihak untuk kembali ke ruang dialog yang sehat, terbuka, dan menghormati konstitusi. Karena tanpa komunikasi yang jujur dan transparan, pembangunan bukan hanya stagnan—tetapi kehilangan legitimasi dari rakyat itu sendiri.(*)
Discussion about this post